(oleh: Fernando Situmorang)
Persoalan etika atau moral sangat pantas dikedepankan di sini. Keterlibatan etika dalam pemberantasan korupsi mampu memberikan bobot validitas moral politik. Sehingga, menghukum mati para koruptor tanpa dilandasi keabsahan moral hanya menunjukkan watak penegakan hukum yang sungguh emosional. Bahaya yang dapat ditimbulkan adalah perilaku gelap mata dan aksi pahlawan kesiangan yang arogan.
Sehingga, etika tidak saja bertugas menerapkan norma moral dalam kondisi tertentu, melainkan juga mendasari secara rasional norma yang berlaku. Etika tidak saja dapat menjawab pertanyaan "apa yang seharusnya dilakukan", melainkan juga pertanyaan "mengapa hal itu harus dilakukan " (K. Bertens, "Refleksi Etika tentang Pembunuhan", dalam Keprihatinan Moral, 2003: 9). Ketika hukuman mati bagi pelaku korupsi dijadikan kebijakan negara, ada dua jawaban yang diberikan etika, yaitu jawaban deontologis (etika kewajiban) dan jawaban teleologis (etika bertujuan).
Etika deontologi, prinsip yang digunakan adalah retributivisme. Seseorang hanya layak dihukum sesuai dengan derajat kekeliruannya. Jika seseorang membunuh orang lain, hukumannya adalah jiwa sang pembunuh itu menjadi gantinya. Orang yang telah menjadikan orang lain menemui kematian, maka kematian jugalah yang harus ditanggungnya. Itulah karakteristik proporsionalitas yang dipegang teguh etika deontologi. Dalam etika ini, sisi yang ditekankan adalah pembalasan.
Bagaimana dengan pelaku korupsi? Bukankah tak ada orang yang mati akibat perbuatannya? Kematian secara langsung jelas tidak. Namun, korupsi menyebabkan rakyat tersiksa dan bahkan mengalami kematian perlahan-lahan. Dalam kontinum masalah ini, Daniel Kaufmann (Corruption: The Facts, 1997) berpendapat korupsi merusak ketersediaan program- program sosial yang diarahkan bagi penduduk. Secara umum harus dikatakan korupsi telah melukai orang-orang miskin.Tanpa perdebatan melelahkan, maka koruptor yang telah menjadikan rakyat mengalami penderitaan berkepanjangan dan kematian sistematis, harus dihukum mati. Terlebih lagi kematian itu tidak hanya dialami satudua orang, melainkan ribuan atau malah jutaan nyawa. Menghukum mati koruptor menjadi kewajiban negara. Bukan berarti negara bersikap arogan, melainkan negara memperlihatkan ketegasan menghukum orang-orang bersalah yang telah merampas hak hidup kaum miskin.
Dalam kaitan ini, kalangan pelaku korupsi dipandang pantas untuk dihukum mati dengan mengedepankan prinsip retributivisme, yakni:
1.Koruptor menjalankan pelanggaran hukum, sehingga merupakan pihak yang terbukti bersalah;
2.Akibat kesalahan itu, maka koruptor harus dihukum mati; dan
3.Hukuman mati itu pantas diberikan kepada koruptor karena dianggap memenuhi kaidah kesesuaian dengan kejahatannya, yaitu melakukan pembunuhan secara tidak langsung namun dijalankan dengan sadar dan sistematis kepada orang-orang miskin.
Aspek konsekuensial juga menjadi perhatian mendasar etika teleologi. Jika hukuman mati mampu menurunkan statistik kejahatan korupsi, maka jenis hukuman yang melenyapkan hak hidup ini layak dijalankan negara. Artinya, hukuman mati dianggap mampu memberikan efek jera. Sehingga, ketika ada pelaku korupsi yang divonis mati, maka pihak lain yang merencanakan korupsi akan mengurungkan niat biadabnya itu. Sebab, mereka mengalami ketakutan jika mendapatkan vonis mati. Persoalan yang ditekankan etika teleologi adalah kalkulasi biaya-keuntungan terhadap pelaksanaan hukuman mati. Bukan dalam pengertian finansial, melainkan lebih pada perhitungan kemanusiaan.
Apakah hukuman mati memberikan kesenangan bagi jumlah terbesar populasi? Apakah hukuman mati bisa menurunkan angka-angka kejahatan korupsi? Apabila kedua pertanyaan itu mendapatkan jawaban ya, maka hukuman mati pantas dijalankan. Apabila jawabannya tidak, maka negara perlu mencari teknik hukuman lain yang dianggap lebih baik.
Namun, secara keseluruhan, hukuman mati tidak mendapatkan dukungan dari perspektif etika teleologi. Hukuman mati dipandang menutup peluang bagi pelaku korupsi untuk melakukan rehabilitasi (perbaikan) diri. Untuk mengatasi persoalan ini, kalangan penganut etika teleologi memberikan jawaban yang cenderung memberikan kepuasan sosial, yakni mengganti hukuman mati dengan jenis-jenis hukuman yang membawa dampak untuk mempermalukan koruptor.
Teknik-teknik yang digunakan, misalnya:
1.Mengenakan pakaian bercorak khusus dan memborgol kaki serta tangan tersangka, terdakwa, dan terpidana korupsi
2.Wajah dan identitas lengkap terpidana korupsi dipublikasikan di hadapan rakyat
3.Koruptor diberi hukuman tambahan, contohnya mewajibkan koruptor menjalankan kerja sosial yang dapat disaksikan banyak orang dan
4.Memenjarakan koruptor di tempat terpencil yang dianggap pantas dengan kejahatannya, misalnya dijebloskan ke Nusakambangan
Nah,, buat anak negeri pembahasan ini sudah public untuk itu mari kita rapatkan Barisan tantang korupsi dan pelakunya..
Persoalan etika atau moral sangat pantas dikedepankan di sini. Keterlibatan etika dalam pemberantasan korupsi mampu memberikan bobot validitas moral politik. Sehingga, menghukum mati para koruptor tanpa dilandasi keabsahan moral hanya menunjukkan watak penegakan hukum yang sungguh emosional. Bahaya yang dapat ditimbulkan adalah perilaku gelap mata dan aksi pahlawan kesiangan yang arogan.
Sehingga, etika tidak saja bertugas menerapkan norma moral dalam kondisi tertentu, melainkan juga mendasari secara rasional norma yang berlaku. Etika tidak saja dapat menjawab pertanyaan "apa yang seharusnya dilakukan", melainkan juga pertanyaan "mengapa hal itu harus dilakukan " (K. Bertens, "Refleksi Etika tentang Pembunuhan", dalam Keprihatinan Moral, 2003: 9). Ketika hukuman mati bagi pelaku korupsi dijadikan kebijakan negara, ada dua jawaban yang diberikan etika, yaitu jawaban deontologis (etika kewajiban) dan jawaban teleologis (etika bertujuan).
Etika deontologi, prinsip yang digunakan adalah retributivisme. Seseorang hanya layak dihukum sesuai dengan derajat kekeliruannya. Jika seseorang membunuh orang lain, hukumannya adalah jiwa sang pembunuh itu menjadi gantinya. Orang yang telah menjadikan orang lain menemui kematian, maka kematian jugalah yang harus ditanggungnya. Itulah karakteristik proporsionalitas yang dipegang teguh etika deontologi. Dalam etika ini, sisi yang ditekankan adalah pembalasan.
Bagaimana dengan pelaku korupsi? Bukankah tak ada orang yang mati akibat perbuatannya? Kematian secara langsung jelas tidak. Namun, korupsi menyebabkan rakyat tersiksa dan bahkan mengalami kematian perlahan-lahan. Dalam kontinum masalah ini, Daniel Kaufmann (Corruption: The Facts, 1997) berpendapat korupsi merusak ketersediaan program- program sosial yang diarahkan bagi penduduk. Secara umum harus dikatakan korupsi telah melukai orang-orang miskin.Tanpa perdebatan melelahkan, maka koruptor yang telah menjadikan rakyat mengalami penderitaan berkepanjangan dan kematian sistematis, harus dihukum mati. Terlebih lagi kematian itu tidak hanya dialami satudua orang, melainkan ribuan atau malah jutaan nyawa. Menghukum mati koruptor menjadi kewajiban negara. Bukan berarti negara bersikap arogan, melainkan negara memperlihatkan ketegasan menghukum orang-orang bersalah yang telah merampas hak hidup kaum miskin.
Dalam kaitan ini, kalangan pelaku korupsi dipandang pantas untuk dihukum mati dengan mengedepankan prinsip retributivisme, yakni:
1.Koruptor menjalankan pelanggaran hukum, sehingga merupakan pihak yang terbukti bersalah;
2.Akibat kesalahan itu, maka koruptor harus dihukum mati; dan
3.Hukuman mati itu pantas diberikan kepada koruptor karena dianggap memenuhi kaidah kesesuaian dengan kejahatannya, yaitu melakukan pembunuhan secara tidak langsung namun dijalankan dengan sadar dan sistematis kepada orang-orang miskin.
Aspek konsekuensial juga menjadi perhatian mendasar etika teleologi. Jika hukuman mati mampu menurunkan statistik kejahatan korupsi, maka jenis hukuman yang melenyapkan hak hidup ini layak dijalankan negara. Artinya, hukuman mati dianggap mampu memberikan efek jera. Sehingga, ketika ada pelaku korupsi yang divonis mati, maka pihak lain yang merencanakan korupsi akan mengurungkan niat biadabnya itu. Sebab, mereka mengalami ketakutan jika mendapatkan vonis mati. Persoalan yang ditekankan etika teleologi adalah kalkulasi biaya-keuntungan terhadap pelaksanaan hukuman mati. Bukan dalam pengertian finansial, melainkan lebih pada perhitungan kemanusiaan.
Apakah hukuman mati memberikan kesenangan bagi jumlah terbesar populasi? Apakah hukuman mati bisa menurunkan angka-angka kejahatan korupsi? Apabila kedua pertanyaan itu mendapatkan jawaban ya, maka hukuman mati pantas dijalankan. Apabila jawabannya tidak, maka negara perlu mencari teknik hukuman lain yang dianggap lebih baik.
Namun, secara keseluruhan, hukuman mati tidak mendapatkan dukungan dari perspektif etika teleologi. Hukuman mati dipandang menutup peluang bagi pelaku korupsi untuk melakukan rehabilitasi (perbaikan) diri. Untuk mengatasi persoalan ini, kalangan penganut etika teleologi memberikan jawaban yang cenderung memberikan kepuasan sosial, yakni mengganti hukuman mati dengan jenis-jenis hukuman yang membawa dampak untuk mempermalukan koruptor.
Teknik-teknik yang digunakan, misalnya:
1.Mengenakan pakaian bercorak khusus dan memborgol kaki serta tangan tersangka, terdakwa, dan terpidana korupsi
2.Wajah dan identitas lengkap terpidana korupsi dipublikasikan di hadapan rakyat
3.Koruptor diberi hukuman tambahan, contohnya mewajibkan koruptor menjalankan kerja sosial yang dapat disaksikan banyak orang dan
4.Memenjarakan koruptor di tempat terpencil yang dianggap pantas dengan kejahatannya, misalnya dijebloskan ke Nusakambangan
Nah,, buat anak negeri pembahasan ini sudah public untuk itu mari kita rapatkan Barisan tantang korupsi dan pelakunya..
Comments
Post a Comment